Penulis: Novia Stephani
Pemenang I sayembara mengarang cerber femina 2003
Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi pernikahan ….
Aku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus
menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?”
Aku mengangguk cemberut.
“Apa jawabanmu kali ini?” godanya.
“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.”
Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.
“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan,
kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa
kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh
tiga.”
“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,”
komentarku.
Alis Idan terangkat. “Kenapa?”
“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”
“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”
“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”
“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya
lebih banyak?”
“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang
keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima,
kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik
tanpa perlu lagi menikah?”
Idan tersenyum. “Ya, memang.”
“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya
masih menunggu calon yang pas.”.
Dan aku menghela nafas panjang. “Ah, ya. Calon.”
“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”
“Ya,” gumamku enggan.
“Bukan karena kau sama sekali antimenikah.”
Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin
juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”
“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku, aku
mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”
“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini
zaman susah. Banyak pengangguran.”
“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku—-ia
menghindar sambil tertawa.
“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng
tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah.
Kalau saja,” aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati
setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau
lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci
maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”
“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”
Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”
“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”
“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”
“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan
mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup,
lidah terjulur.
“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah,
berobatlah.”
Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah
setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”
“Aku tidak bisa, Dan.”
“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau
kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan
makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan.”
“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar
pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar
telah memahamiku.
“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia
bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu
sepersekian detik. “Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap.
Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani
dan melindungimu.”
“Jangan bicara begitu,” cetusku, kembali manyun. “Satu, ini hidupku, bukan
hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku berkhianat, apa
ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh
pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku
butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau perlu.”
“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-dalam.
“Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa
yang ingin kau capai dengan itu?”
Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang aku
butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan. Jadi
menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku. Aku punya
teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan alasan
bagiku untuk menikah.”
“Bagaimana dengan keturunan?”
“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan?
Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku
mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong,
jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil
risiko dilukai lahir dan atau batin. Tak ada
kepastian sama sekali bahwa pernikahan itu akan bertahan sepanjang hidupku. Di
samping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan jadi pihak
yang paling besar menanggung kerugian. Kenapa, Dan? Untuk apa?”
Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”
“Kau terlalu banyak menonton film romantis,” olokku. “Kau tahu berapa lama
cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”
“Berapa lama?”
“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan
imajinasi.”
“Imajinasi?”
“Kalau kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus
yang kau tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere
atau kau bisa jadi gila.”
“Astaga,” gumam Idan. “Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus
kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?”
“Gorila,” jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.
“Idan,” keluhku. “Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang
membicarakan masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus.”-->
Wajahnya serta-merta menjadi serius. “Aku tidak
menertawaimu. Kalau kau benar-benar sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi
semua masalah, yang tergenting sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau
akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi,
tertawalah. Tertawalah keras-keras.”
“Idan, kau benar-benar tak tertolong lagi,” gumamku. “Aku
perlu solusi, Dan. Bukan ide-ide konyol.”
Idan membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. “Pit, aku tahu ini akan kedengaran
gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua
masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua,
ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami.”
Aku mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku
walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan
karenanya teramat sangat kocak.
“Sebelumnya, aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku
perlu jawaban terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?”
Kutatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan
tahun. Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah
hadir dan menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan
selalu siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak
pernah gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau
ada satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya
Idan orangnya.
“Ya. Aku percaya kepadamu.”
“Kalau begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk
kebaikanmu. Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat
terselubung di balik ideku ini. Percayalah.”
“Idan!” potongku tandas. “Ide apa?”
“Aku ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen,” ia bicara dengan
hati-hati, kedua matanya terpancang pada ekspresi wajahku. “Kita akan melakukan
pernikahan.”
“Apa?”
“Simulasi!” lanjut Idan sesegera mungkin. “Tentu saja lengkap dengan semua
formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon….”
“Bulan madu?”
Idan mengangkat tangannya menyuruhku diam, ”Simulasi. Sekali lagi, simulasi.
Setelah itu kita akan menjadi suami istri —-simulasi—- sambil mempelajari
kenapa kebanyakan manusia yang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah
tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak
sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang,
merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita
bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini
Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa
komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?”
“Idan,” desisku. “Ini ide terbodoh yang pernah kudengar.”
“Semua gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya,” sanggah Idan mantap.
“Pikirkan, Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa
pernikahan itu sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak
mungkin melakukannya dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki
sifat ksatria, dapat dipercaya dan teguh pendirian….”
“Serius, Idan, serius!”
“Dan kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan
mengalami kerugian apa pun.”
“Kecuali jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan….”
“Simulasi,” Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.
“OK. Pernikahan simulasi,” geramku. “Dan aku akan menyandang status janda
setelah kita bercerai.”
“Simulasi.”
“Idan!”
“Upit!”
“Oh, Tuhan,” aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera
menjejeriku.
“Upit, kau tidak perlu semarah ini,” katanya. “Apa aku sejelek itu di matamu
hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?”
Aku berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng. “Biarpun wajahmu
seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan malang
manapun yang mencintaimu.”
Matanya berbinar. “Kau tidak marah lagi, kan?”
Aku menggeleng. “Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang
selalu korslet tiap kali memikirkan jalan keluar dari suatu problem serius. Aku
mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku.”
“Justru karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit,” ekspresinya tampak
begitu tulus.
“Terima kasih. Tapi ide itu memuakkan.”
“Pikirkan ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku,
orang yang selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua,
ulet, tangguh…,” ia berhenti saat melihat raut wajahku, “ibumu akan sangat
bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu.”
Ia diam sejenak. “Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di mana
pun.”
Ucapannya begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau
saja di antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku
pasti sudah lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri.
Perempuan yang tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya.
Aku pasti sama kurang warasnya dengan Idan.
“Apa aku harus menciummu?” tanyaku nyaris berbisik.
“Sesekali mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi,” matanya kembali
tertawa. “Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua, kau
bebas untuk meninjuku, menjambakku….”
“Idan,” teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.
Suaranya bergetar. “Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan
mas kawin tersebut, tunai.”
Dan wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia
terjaga berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku
yang nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Idan,
walau menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga
bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya
aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang
teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa
itu. Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua
matanya gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium
jemarinya. Ia mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami
berdua duduk berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk
menatap pantalon putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.
Akhirnya kuberanikan diri untuk berbisik, ”Kau pucat sekali.”
“Aku lapar. Tidak sarapan tadi pagi.”
“Terlalu nervous?”
“Telat bangun. Aku nonton bola sampai subuh.”
Aku tersenyum.
“Bagaimana aku tadi?” bisiknya.
“Meyakinkan. Berapa lama kau latihan?”
“Hanya waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan
celanaku.”
Ah, Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan.
Simulasi. Menikah simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
-->
Sebulan pertama Upit berusaha mengerti
kebiasaan Idan menghabiskan akhir pekan dengan memancing. Di minggu kelima dia
protes, dan mereka bertengkar. Pertengkaran terhebat yang pertama.
Tiga hari pertamaku sebagai istri Idan —-simulasi-— kulewatkan di rumahku
sendiri. Tiga hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya,
yang memang telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang
disebabkan persiapan acara pernikahanku dengan Idan. Pada hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah
seharian menata perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami
lewati dengan tidur.
Esok paginya, aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku
menemukan Idan di sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang
nasi goreng dan sepoci kopi yang harumnya menggoda.
“Aku ada rapat pukul setengah delapan,” seru Idan sambil
membalik dadar telurnya. “Aku mesti berangkat sebelum setengah enam.”
Kucicipi nasi goreng buatannya. “Aku tidak tahu kau pintar memasak.”
“Pramuka,” komentar Idan tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia
duduk untuk sarapan. “Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit.”
“Percaya, percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki
keran dan genting bocor, plus membabat rumput.”
Idan terbahak. “Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap
pagi.”
“Apalagi aku. Kita perlu cari pembantu.”
“Jangan,” Idan menggeleng. “Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar
berbeda.”
“Jadi?”
Idan menggaruk kepalanya. “Bisakah kau masak nasi tiap hari?” pintanya. “Aku
punya rice cooker.”
Kutatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah
permainan. Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di
lain pihak, kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang
istri, mungkin ada baiknya aku mengikuti keinginannya. “Kalau kau mau
membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik.”
Ia tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah.
Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
“Hari pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan
musyawarah keluarga,” katanya saat kembali ke kursinya.
“Masih banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati,” lanjutnya.
“Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang terlambat.”
Dahiku berkerut. “Untuk apa?”
“Apa kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?”
Aku menggeleng. “Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan
tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh.”
“Tapi aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau
pulang terlambat.”
“Kau kedengaran seperti diktator.”
“Kurasa aku tidak minta terlalu banyak.”
“Itu terlalu banyak untukku.”
Idan meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan
terakhir kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca
gelagatnya kali ini. Ia benar-benar marah.
“Ingat,” lanjutku hati-hati. “Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya
hak untuk mengaturku seperti itu.”
Ia menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan
ruang makan itu menjadi sangat sunyi senyap. “Baik. Kalau itu maumu,” desisnya
kemudian.
Kami melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali
tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk.
Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang
karenanya.
Idan meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk
bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia
kembali menemuiku di ruang makan. “Aku pergi, Pit,” katanya dingin.
Aku bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi.
“Sebagian teman-temanku menyarankan ini,” ujarku sambil meraih tangan kanan
Idan dan menempelkannya di bibirku. “Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka
bilang kau harus mencium keningku.”
Ia membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu
tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu terima kasih!
Aku sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi
suatu kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian
dan sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan
kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan
telah banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh
ingin mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa
aku belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih
seorang sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku
selepas akad nikah. Ini hanya permainan, batinku.
Tapi dalam permainan ini, Idan adalah suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya
wajar. Kalau aku lantas tidak suka dengan keterbatasannya, itu hanya satu
pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku
benci kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu
hal dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan.
Getir memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah
dulu.
Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah
dua belas malam dan Idan belum pulang?
Kucoba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan
berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon
rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan
tidak ada di mana-mana.
Inikah balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga
pagi Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang
setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat. Tapi saat aku tiba di
rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu
kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit.
Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas di benakku
saat aku mengangkat receiver.
“Upit?”
“Idan?” jeritku. “Kau di mana?”
“Pit, aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?”
“Idan, ini rumahmu!” meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di
pipiku. “Kau di mana?”
“Di luar.”
“Di luar rumah?”
“Ya. Dan aku lapar.”
“Oh, Tuhan….”
Aku lari
ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah
sudah berapa lama ia di sana.
“Kau
keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!” teriakku
kepadanya.
“Aku juga
rindu kepadamu!” balas Idan tertawa. Dan mataku
rasanya semakin perih melihat tawanya lagi.
“Di mana
saja kau dua hari ini?”
“Di hotel
kecil dekat kantor.”
Ia baru
saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak berkomentar
ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan kegemarannya. Ia hanya makan dua kali lebih lahap.
“Kenapa
kau akhirnya memutuskan untuk pulang?” suaraku bergetar.
“Aku perlu
baju bersih,” ia tertawa malu. “Laundri hotel mahal sekali.”
Saat ia
mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung, ”Selain
itu , aku khawatir karena kau sendirian di sini.” Dan dadaku tiba-tiba terasa
ngilu.
“Aku akan
pulang terlambat besok,” ucapku perlahan. “Aku harus lembur. Dikejar deadline.”
Ia
berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku terpaku pada es krim di hadapanku.
“Oke,”
katanya. “Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?”
“Asal kau
sisakan cukup untukku,” aku tersenyum.
Paginya
kulihat lingkaran merah kedua di kalender.
Aku bisa
mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di
ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action —-genre yang paling tidak kuminati, dan
sepak bola—- olahraga yang menurutku amat membosankan. Aku bahkan bisa
memaafkan kebiasaannya mengeluarkan pasta gigi dengan memencet bagian tengah tubenya,
tidak dari bawah seperti yang biasa kulakukan.
Hanya satu
yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap
Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola dengan
teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing. Untukku
yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri
lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir
dengan acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku
tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku dengan
sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan
pertama aku berusaha mengerti . Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga
aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima kesabaran kutandas, dan
pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas,
aku memintanya untuk tidak memancing.
“Temani
aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku.
“Kau kan
bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.
“Seingatku
kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”
“Aku tidak
bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak memandang ke arahku,
sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk
mencoba tempat memancing baru.”
“Kau bisa
mencobanya minggu depan.”
“Tadi
malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,
” ia
tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Aku bisa memecahkan
rekor sepuluh kilo sore nanti!”
“Minggu
depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.
“Pakai
voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari ditempat.
“Berapa
diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu cukup?”
“Idan! Itu
hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”
“Aku bisa
cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu.”
“Oh,
Tuhan!”
Idan
berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon
lagi.”
“Aku sudah
cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari
rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan.”
“Jadi? Apa
yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku
oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.”
“Ini bukan
masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa
enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman.”
“Kalau
begitu ajaklah teman-temanmu.”
“Sudah.
Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”
Idan
mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”
“Ya!”
“Kenapa
tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau
boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.”
“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak
bola dan lebih benci lagi memancing!”
Mata Idan
menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya.
“Kupikir
sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.”
“Mengalah!”
suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau sudah
menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku , apa kau tidak bisa memberiku….”
“Enam kali
dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu
jam saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu
denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan
Pavarotti dan Flamingo.…”
“Placido
Dom ingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang- orang
saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan satu bola
kulit!”
“Setidak-tidaknya
itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!”
“Kau kekanak-kanakan!”
“Dan kau,
Tuan Putri, kau egois!”
Ia
menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di
belakangku.
Seperti
inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya?
Dadaku
sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai
membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi
padaku. Aku tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama
ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya.
Sebaliknya,
aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah —-simulasi—- dengannya, mengurangi
jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia
akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku
?
Tidak!
Kubuka
lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan
di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh
tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.
Idan
kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama
kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.
“Kalau kau
mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,” katanya.
“Aku tidak
mau pergi ke mal.”
“Kau
bilang tadi pagi….”
“Aku tidak
mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat.”
“Upit,
kalau kita tidak pergi se karang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji
jam empat….”
“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau
mau.”
“Jangan
seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya. “Ayo!”
“Tidak!
Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!”
***
Meski
sudah bersikap menyebalkan, Puspita tidak berhasil membuat Idan marah. Pria itu
malah bersikap sangat manis.
Wajah Idan
benar-benar merah sekarang.
“Upit!
Jangan main-main denganku!
Aku tidak
mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan cemberut sepanjang
hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam lagi.”
“Aku bukan
budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi”
“Oke.
Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat
sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan melar….”
“Idan!”
jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan
sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya. Aku lari ke kamarku,
membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan.
Kudengar
ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku
takut, takut sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali
sama sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus
menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku
tertidur kelelahan.
Sorenya
aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis
karena kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin
tak ada pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku.
Maka
selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor. Saat itu
Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu
gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang
terkuak.
“Apa-apaan
ini, Pit? ” tanyanya.
“Aku
pulang ke rumah Ibu.”
Ia masuk
dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah ini kau menyerah?”
“Ini di
luar dugaanku.”
“Apa?”
“Aku tidak
mengira aku menikahi monster.” Idan terdiam, menunduk.
“Aku…,”
katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”
“Aku sudah
terlalu gemuk.” Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah,
”Tidak.
Kau cantik.”
“Aku tidak
butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti
apa-apa.”
“Aku sudah
mencoba jadi suami yang baik.”
“Kau
gagal.”
“Setidaknya
aku mencoba. Kau … kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita
berhasil….”
“Simulasi.”
Ia menghela
napas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi.”
“Kau
salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak.
Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka
menikah. Apalagi denganmu.”
Ia tak
mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar
dari kamarku,aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping.
Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian.
setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.
“Setidaknya
tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.
“Terlalu
lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”
Aku tak
peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup saat aku membuka pintu
gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada dibenakku. Dan ketika
mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari
rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil dan
menendang pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu
aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan
mengunci mobil itu dari luar.
“Ayo
pulang,” katanya.
Aku
menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia
mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku
sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya
di saku.
“Ganti
bajumu,” katanya.
“Semua
bajuku di dalam kopor.”
“Ambil
bajuku.”
“Tidak
akan pernah!”
Ia
mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar,”Ini
bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”
“Monster,”
desisku.
Malam itu
suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih
ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku
membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa
menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setel ah itu
semuanya kabur.
Kesadaranku
kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan
Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan.
Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan
tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat
menggenggam jemariku.
Hingga
akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala
dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat
menerobos masuk, membawa aroma melati dar i rumpun di luar kamarku. Ibuku
tengah duduk di dekat jendela, membaca.
“Ibu.”
Ibuku
menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku.“Bagaimana?
Sudah enakan?”
“Idan
mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya di mana
aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
“ Masih di
kantor. Sebentar lagi juga pulang.”
Aku sakit
dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
“Ibu sudah
berapa lama di sini?”
“Dari
pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”
Aku
mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali
tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata.
Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu
ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk
bicara lagi dengannya.
“Bagaimana,
Bu?” tanyanya,
suaranya
mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap didahiku, sejuk dan membawa
ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup
menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau
melakukannya.
“Tadi
bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi.
Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”
Tangan
Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti,
jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan
merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
“Kalau Ibu
capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”
Ibu
tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan
semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit.
Apa kau
tidak capai?”
“Saya
pakai baterai Energizer, Bu.”
Ibu
tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak
yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”
Ibu! Idan
itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
“Sudah
tanggung jawab saya, Bu.”
Alangkah
klisenya!
Sunyi.
“Kau
betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”
“Terima
kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”
“Baik
kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau
ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia
mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan
jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”
“Baik,
Bu.”
Dan saat
itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku ingin
menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku.
Aku ingin
menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena
ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah
berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi.
Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
Aku
membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia mencoba
menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.
Aku
memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena
aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali. Aku
memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum , merebuskan mi instan yang
tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke lantai, mengupaskan apel yang
kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya ku cuil
sedikit. Pijatannya di kakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar,
tidak terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya
untuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali
ia mulai mengangguk terlelap.
Semua itu
akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh,
atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak
mengeluh, tidak membantah . Kesabarannya merusak segalanya.
Makin lama
aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya --
yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya --
yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan.
Aku
dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya
sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan.
Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak
kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang
fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran
yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan,
dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu
seremeh itu.
Selama dua
puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah
membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang menyenangkan darinya.
Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan membiarkan kemarahan sesaat
membutakanku?
Aku tahu
permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran
konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk menyingkirkan pertengkaran
itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa
sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?
Ketika aku
terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum
lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku
untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar
aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi.
Di rak ia
telah menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku,
hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup.
Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah
rapi kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti
dengan yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada
susu cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis karena
terharu.
“Kau tidak
ke kantor? ” tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah pertama yang
kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
“Ini hari
Minggu, Pit.”
“Aku sudah
sakit selama seminggu ?” bisikku tak percaya.
“Ya,” Idan
tersenyum. “ Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang
di kantor memikirkanmu.”
“Ibuku kan
di sini.”
“Ya. Aku
terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku
minggu lalu. Maaf.”
Aku
menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas.
“Aku mau
memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan
dia cuma duduk di bangku cadangan.”
Aku
tersenyum.
“Dia
kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi,
siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.
“Kau mau
pergi memancing nanti sore?”
Ia
menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Aku harus
memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus,
mereka bisa punah.”
“Kalau kau
memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya.”
“ Terima
kasih untuk apa?”
Untuk
menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi
yang keluar dari mulutku adalah, ”Karena meminjamkanmu untukku hari ini.”
Senyum
Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. “Lain
kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari
sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan
teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?”
Aku
mengangguk dengan leher tersumbat.
“Aku juga
janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya kemudian. “Kita
memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit
Nanti air
jerukmu asin.”
“Selamat ulang tahun, Pit.”
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan!
Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!”
“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi
tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.
“Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu
dariku!” Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku.
Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan
berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi
milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.
Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku
dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah
disiapkan Idan untukku. Puisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku
menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.
“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.
“Apa?”
“Hadiahku.”
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan
tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start.
Tidak ada yang berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias.
Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku
berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
“Kau tidak menemukannya? ” tanya Idan, dengan
setitik kecewa dalam suaranya.
Aku menggeleng.
“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian.
Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah. “Komputermu sekarang bisa
bekerja lebih cepat.”
Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia
kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu,
sebelum ia sadar bahwa aku kecewa.
“Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan.
“Terima kasih.”
“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum
dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa.
Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin. Di
kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum penuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku
mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku
ada sebuah kotak panjang dengan tutup selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat
jantungku rasanya berhenti berdenyut. Hati-hati kuambil kartu yang menempel
pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat
kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku?
Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal,
mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun. Dalam perjalanan aku
kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu
bukan dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu
pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak
pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?
Restoran itu masih seperti yang kukenang.
Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku
menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri,
dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara
gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.
Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu
masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri
meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat
tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga
tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang
menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk
tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih
begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.
Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit
menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan
suaranya masih seperti yang kuingat.
Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih
persis seperti yang kukenang. “Kaudatang.”
“Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya,
tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu
yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk
ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang
siapapun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih
demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya.
“Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang
mampu kulakukan. Sayangnya getaran
di suaraku membeberkan semuanya. “Kau masih ingat.”
“Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya
tersenyum.
“Kapan kau pulang?”
“Tadi pagi.”
“Dengan anak istrimu?”
Pram tertawa kecil.
“Ini agak memalukan. Tapi aku masih
sendiri, Ita.” Jawabannya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus
mengatakan apa.
“Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa
pun selain denganmu,” senyumnya padam dan di matanya bergelora lagi pesona yang
pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari,
dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu. “
Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun
lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa
membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu
saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia
hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia
adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang
dengan teratur, tak satu pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu
ulang tahun dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai
suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus
mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku.
“Kau sendiri bagaimana, Ta?”
“Aku sekarang editor senior,” jawaban itu
terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan?
“Selamat!” ia kedengaran tulus, tapi di hatiku
kata itu menyakiti. “Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.”
“Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,”
ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan “ya”? Sepuluh tahun bersama
Pram, seperti apa? Ia menggeleng.
“Aku hanya memintamu memilih.” Matanya tertambat pada cincin di jari
manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, “Kau sudah menikah?”
Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak
gugup. “Siapa?” tanyanya lirih.
“Idan,” jawabku kaku.
“Idan? Irdansyah temanmu?”
“Sahabatku.”
“Sahabatmu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?”
Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku.
Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah
akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, dengan senyum kecil ia
mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya.
“Aku…,” dibukanya kotak itu. “… Aku sendiri
menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku
terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam
sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….”
Dikeluarkannya sebuah gelang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku
terkesima.
“Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku
yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa
meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku.
“Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik
sekali.”
“Kau suka?”
Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang
tahun dari Idan. ” Kau….Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,” suaraku
keluar dengan susah payah.
“Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang
aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu
mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa
tidak mengingatmu, ” ia tertawa kecil.
“Tapi aku tidak bisa membawanya ke sini. Bawaanku
sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam
radius dua ratus lima puluh kilometer.”
Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat
pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan
membuatku bahagia?Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam
hati. Tidak. Tidak . Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang
dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan
wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Pram
yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada
yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran
itu menorehkan nyeri dihatiku. Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri.
Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga
jadi salah satu kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,” katanya dengan
mata berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang
antik….”
Ia melihat ekspresi wajahku dan berhenti bicara.
“Maaf,” katanya sejenak kemudian.
“Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku.
“Baiklah. Mau kuantar?”
“Aku ada mobil.”
Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya berbeda sekarang.
Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama
aku di sini? Aku perlu teman yang bisa mengantarku jalan-jalan mengunjungi
galeri dan art shop.”
Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi
benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan sesuatu yang lebih istimewa
lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya. Pram membaca keraguanku dan sesaat
sorot matanya meredup.
“Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,”
katanya. “Aku tidak punya banyak teman di sini.”
“Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat,
sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Pram.
Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu
nama. Dibelakangnya ia menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau
bersedia. Aku menunggu.”
Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu
lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja
lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa
membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan
khayalan yang kukira telah lama lenyap.
Tapi masih adakah kemungkinan antara
aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah
dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan
hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau.
Tapi, kalau pun ia
tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan
semua padanya? Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan
bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga
tidak mungkin.
Semua ini hanya sandiwara yang akan berakhir, cepat atau lambat.
Apakah kembalinya Pram suatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena
mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana?
Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian. Aku
memikirkanmu. Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata,
wajah dan suaranya dari benakku?
Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan.
Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau
menghentikan badai?Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di
hatiku sendiri. Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil.
Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang
sudah kuhapal di luar kepala itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru
dekat kantorku.”
“Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau
tidak, Ita.”
Dan esok harinya kuhabiskan bersama Pram,
mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yang lama ingin kuulangi lagi. Aku
tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram,
membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Idan.
Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba bertanya.
“Kenapa kau menikah dengan Idan?”
“Kenapa kau bertanya?”
“Seingatku, ia bukan tipemu.”
Aku tertunduk.
“Kenapa, Ita?”
“Idan mencintaiku ,” bisikku pelan.
“Apa kau mencintainya. “
Kebisuanku mem berinya jawaban.
“Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih.
Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.”
“Jangan berbohong.”
“Idan suami yang baik.”
“Tapi apa kau bahagia?”
Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa
sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya?
“Berapa lama kau menikah dengan Idan?”
“Setahun.”
“Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa
kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan….”
“Stop.” Aku bangkit dan meninggalkannya.
Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena
pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku
tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia?
Kartu itu bergetar ditanganku dan tulisannya kabur
dalam genangan air mataku.
“Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah
memasuki ruangan. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan
diri. “Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan.”
Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial
nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak
lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut
hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya,
seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.
“Idan.”
“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”
“Aku …. Kau tahu …, ” aku terbata.
Bagaimana mulai
menceritakan kepada suamiku — walaupun hanya simulasi — bahwa aku sedang
dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia
tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi
sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia
adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun.
Dan menceritakan hal seperti
kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam
untuk dilakukan.
“Ya?” desak Idan.
“Aku…. Idan, kau kenal Indri, kan?”
“Sekretarismu? Tentu.”
“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”
“Lalu?”
“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak
tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan
bekas pacarnya itu. Dan sibekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”
“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”
“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan
masalah. Mereka boleh memilih
untuk tinggal dengan siapa.”
“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”
Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti
dialakukan. Aku tak bisa menjawab.”
“Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh!
Tunggu sebentar,” meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya
berteriak kepada seseorang di ujung sana,
“Tunggu sebentar, ini istriku! Ya,
mulailah dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku
rasanya melesak ke dalam bumi.
“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa
tanpaku …,” suara Idan kembali di telepon.
“Karena kau yang membuatkan kopi?”
“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius.
“…Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya
memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga
harus diperhitungkan. “
“…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah
dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan? “
“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar
mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa
lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin
mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu?
Kalau hanya itu yang mereka
inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya
sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang
masih hijau.”
“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu,
bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.”
“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”
“Keadaan.”
“Maksudnya?”
“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi
orangtuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”
“Astaga. Kasihan sekali.”
“Jadi bagaimana?”
Idan diam sejenak.
“Aku tidak tahu, Pit. Yang aku
tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku
sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah
bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan
suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya
mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”
“Lantas aku mesti bilang apa?”
“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang
saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak
diragukan lagi.”
“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.
“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa
diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku
menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang.”
“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”
“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau
membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang
tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi
sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.”
“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” ia berteriak.
Lalu kudengar suaranya, sed ikit jauh dari telepon. “Iya, Pak, sebentar. Istri
saya ….”
Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin
dan sendiri.
Kita tidak bisa bertemu lagi Pram,” ujarku kepada
Pram di telepon. Separuh jiwaku rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu
kuucapkan.
“Kenapa? Idan melarangmu?”
“Dia tidak tahu apa-apa.”
“Kenapa kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan
dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau
cintai, sedangkan denganku kau bisa mendapatkan semuanya?”
Kugigit bibir ku
saat setetes air bergulir di pipiku.
“Ita, akuilah. Aku menemukan separuh hatiku
kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap denganku. Selama ini, aku sendirian dan
kau dengan Idan, hidup kita hanya mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan
memulai hidup, setelah kita bersama. Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta,
tidak juga masa depan, tapi berdua, kita akan miliki segalanya ….”
“Hentikan,” potongku dengan suara bergetar.
“Kalau kau minta aku untuk berhenti berusaha
mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak
semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut sisa hidupku dan hidupmu. Tidak ada
yang lebih penting dari itu dan aku tidak akan berhenti sampai kau kembali
denganku.”
“Aku tidak bisa ….”
“Kenapa tidak?”
Ya, kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah
permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa
rasanya berat sekali memutuskannya?
“Kau tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda
dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau tidak bisa mencintainya.
Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya cuma iba, karena ia tidak
akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan selamanya menikah dengan
perempuan yang mencintai lelaki lain.”
“Aku ….”
“Akuilah, Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita
adalah takdir.”
Kututup mikrofon dengan tanganku dan menghela
napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti
berputar makincepat. Kupejamkan mataku. “Aku tidak mencintaimu, ” gumamku.
“Lebih keras lagi.”
“Aku tidak mencintaimu. “
“Kau berbohong.”
Lama sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup
mengucapkan, “Ya.”
“Ita,” suara Pram gemetar. “Aku berjanji untuk
selalu membuatmu bahagia.”
Aku tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan
akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan
kenyataan bahwa aku harus bicara padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa
Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin menghentikanku.
Bahkan, mungkin ia
akan merasa lega dengan keputusanku itu, karena akhirnya ia bisa membenahi
hidupnya sendiri lagi. Mustahil ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku
juga tahu ia sangat menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan
untuk kembali kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu
yang pasti akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus segan
menyampaikannya pada Idan?
Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri untuk
mencari waktu yang tepat. Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku
dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
“Aku ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus
menempuh masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain
yang pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa idahmu
selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi.”
“Aku tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi …
Entahlah.”
“Apa kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?”
“Aku ….” aku tergagap dan menggeleng.
“Jadi, bicaralah dengan Idan.”
Sore itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah
bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi.
Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan
wajahnya berseri saat aku mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa
sebenarnya.
“Kenapa kau sudah di rumah?” tanyaku.
Idan menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan
menggandeng tanganku ke dalam rumah.
“Ada apa?”
“Sst!”
Ia membawaku ke serambi samping. Dengan bangga
dikembangkannya tangannya. Di sana ada sebuah ayunan rotan berwarna putih,
cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal yang kelihatan sangat
mengundang, berwarna hijau dengan gambar… mawar putih?
“Ini hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita,”
katanya.
Mataku beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah
Idan benar-benar sumringah. Di matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku
yang pasti telah berubah warna.
“Aku … aku tidak punya hadiah apa-apa,” gumamku
sambil kembali menatap ayunan itu, menyembunyikan kalutku. “Aku lupa ….”
Idan tertawa. “Kau bahkan tidak ingat ulang
tahunmu sendiri,” katanya.
Ia duduk diayunan itu. “Ayo,” katanya sambil
menarik tanganku. Aku duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku
benar-benar tidak ingat bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah,
simulasi. Kenapa Idan harus menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku
sendiri sama sekali tak mengingatnya?
Idan mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam
tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku
sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan
segera kuucapkan padanya. Aku telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan
segalanya, tegas dan jelas. Tapi sekarang, semua ketetapan hati yang telah
kubangun runtuh berserpihan.
“Pit, kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak
nakal,” teguran Idan membuyarkan renunganku.
“Ada apa?”
Kutatap matanya. “Dan, Pram pulang.”
Dahinya berkerut. “Pram?”
“Pacarku yang pergi ke Jerman.”
“Oh,” ia mengangguk. “Kapan?”
“Sebulan lalu, waktu aku ulang tahun.”
Ia mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan
apa-apa setelah itu. “Dia sudah menikah?” tanya Idan, seperti mendorongku
bicara.
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Dia ingin menikah denganku,” ujarku cepat-cepat,
tanpa memandang wajahnya. “Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku
ingin kita segera bercerai.”
“Oh.” Idan tak mengatakan apapun selama beberapa
saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan ringan, seolah-olah sambil lalu,
“Kau yakin ia mencintaimu?”
Aku mengangguk.
“Kau yakin akan bahagia dengannya?”
Sekali lagi aku hanya mengangguk.
“Kalau begitu, selamat,” ketulusannya terdengar
hangat. “Aku ikut bahagia.”
Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun
kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku. Idan bertanya beberapa hal tentang Pram dan
semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi
setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan
ceritaku.
“Dan?” tegurku.
“Ya?”
“Kau tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau
pikirkan?”
“Aku sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak
selingkuh, supaya kau punya alasan untuk bercerai denganku.”
Malam itu aku terbang un saat Idan mengguncang
bahuku.
“Pit, bangun!”
“Ada apa?” gumamku. Jam alarm di sisi ranjangku
baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.
“Ganti baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal.”
Aku terlonjak duduk. “Apa?”
“Ganti baju,” perintah Idan sambil meninggalkan
kamarku.
Aku terpaku sejenak sebelum akhirnya lari
mengejar. “Kapan?”
“Baru saja.”
“Di?”
“Rumah. Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi.”
“Idan ….” Ia membanting pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke kamarku dan bergegas mengganti
piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala
dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu
perlahan.
“Dan, aku sudah siap.” Tidak ada jawaban.
Aku menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi
dengan cahaya samar lampu taman aku bisa melihatnya meringkuk di sudut,
wajahnya tersembunyi dibalik kedua tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan
mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya.
Tapi ketika untuk ketiga
kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia
menangis. Hanya saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya.
Setelah itu ia
kembali menjadi Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus
pemakaman, menerima para tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan
ketenangan yang nyaris mengerikan.
Sore harinya, saat aku tengah membantu merapikan
kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak Ira, menghampiriku. “Pit, bawa Idan
pulang.”
“Apa tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?”
Kak Ira menggeleng. “Coba lihat sendiri,” katanya
sambil menunjuk ke halaman belakang.
Idan kutemukan di sana, sedang mengisap sebatang
rokok. Ia sudah tujuh belas
tahun berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku
sadar ia sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang
ditunjukkannya.
Ketika aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh
dengan puntung rokok dan kotak di atas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut
rokok itu dari antara jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia
bahkan tidak menatapku.
Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera
membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.
“Aku mau pulang, Dan, ” ujarku sambil memegang
tangannya. Ia menggeleng
pelan.
“Aku akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri.
Besok aku pulang naik bus saja.”
“Aku tidak mau sendirian di rumah.”
Idan menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia
berpamitan kepada kakak dan iparnya dan keluar untuk mengambil mobil.
Saat itu
Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik, ” Aku senang Idan sudah menikah
denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling
merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama
selama tiga puluh tiga tahun.”
Aku terpana sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil.
Bagaimana bisa kukatakan kepadan ya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk
mengakhiri pernikahan ini secepatnya?
Sesampai di rumah, Idan langsung menuju ke
kamarnya.
“Kau mau kumasakkan nasi goreng, Dan?”
“Nanti saja. Aku tidak lapar.”
“Kau tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti
kau sakit. Mau ya?”
Idan mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi
semakin khawatir melihatnya. “Tunggu di sini,” ujarku lagi. “Aku tidak akan
lama.”
Ketika aku baru saja mengambil telur dari lemari
es,aku mendengar suara Idan di kamar mandi. Ia kutemukan membungkuk di
wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan.
Untuk sesaat kepanikan
melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku diambang pintu, tak pasti apa yang
harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar mencari bantuan. Tapi aku
tidak mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti itu.
Kuhampiri Idan dengan ragu. Perlahan kuelus
punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat
laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan
selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya.
Tapi tiba-tiba
saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam
pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar
dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya
yang menggigil.
“Maaf, Pit,” bisiknya. “Aku tidak bisa menangis di
depan kakak-kakakku. Mereka ….”
“Aku tahu. Tidak apa-apa ,” tanganku masih gemetar
saat aku mengelus rambutnya.
“Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya.” Ia
mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya.
Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik.
Dihirupnyasedikit teh yang kubawa.Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, Ia memegang tanganku.
“Terima kasih.”
“Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku.”
“Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku
pernapasan buatan,” ia tersenyum nakal.
“Oh, kau!” aku ikut tersenyum, lega.
“Dan untuk menikah denganku,” lanjut Idan
kemudian, ekspresinya begitu serius.
“Setidak-tidaknya sebelum meninggal,
Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. “
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata
saat aku bicara, “Aku yang mesti berterima kasih kepadamu.”
“Untuk apa?”
“Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk
kesabaranmu. Pengorbananmu. “
Idan tersenyum kecil. ” Aku tidak melakukan apapun
yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya
aku yang berterima kasih.”
“Jangan memaksa,” aku mencoba bercanda. “Aku yang
harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit.”
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya
tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
“Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau
terlibat dengan ide gilaku ini,” katanya.
“Entahlah, Dan,” aku tertawa kecil. “Mungkin aku
sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku
melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua
masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas,
dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah.”
“Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?”
tanyanya dengan mimik lebih serius.
Aku terdiam sejenak. “Banyak,” jawabku akhir nya.
“
Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan
manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak
bisa kuabaikan.
Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan
apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu
kemenangan bersama.”
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan
cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali
untuk menyatakan semua itu.
“Kau memang selalu pintar bicara,” Idan tersenyum.
“Kau sendiri? Apa ya ng kau pelajari selama ini?”
“Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah
sebahagia ini lagi setelah kau pergi.”
Aku tertegun. “Apa maksudmu?”
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku.
“Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan
mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di
dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku
merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat
terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus,
walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang
seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat.”
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan
sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.
” Aku masih belum mengerti,” bisikku.
“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi
untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”
“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,”
kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku
terempas.
“Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas
kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun.
Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”
“Kau … kau tidak pernah ….”
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu
sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau
selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki
idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah
lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon
ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk
kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan,
memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak
punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”
“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku
lirih. “Kau istimewa dengan
caramu sendiri.”
Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau
cintai.”
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata
Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak
permainannya. Tapi ia
kelihatan sungguh-sungguh.
“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita
akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam
senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya.
“Aku sendiri tidak
tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepada mu. Aku hanya ingin kau tahu
aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga.
Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika
akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar
di matanya saat ia kembali menatapku.
“Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan,
aku ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan
akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah
cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar
sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah
kutunjukkan. “
Ia menghela napas berat.
“Tapi itu semua
keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”
Lama kami berdua saling berpandangan.
“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia
erat-erat, menyembunyikan airmataku di bahunya.
“Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku
terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya.
Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini.”
“Berapa lama?”
“Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin.”
“Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke
Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak
dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua.”
“Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan
Idan sekarang. Dia membutuhkan aku.”
“Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan
pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?”
Aku menghela napas panjang. “Entahlah, Pram, ”
bisikku.
“Apa maksudmu?” suara Pram terdengar kaget.
“Aku …. Aku tidak akan bahagia kalau Idan
menderita.”
“Ita! Kau tidak …. Dengar, pikir baik- baik.
Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?”
“Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya.”
“Tapi kau tidak
bahagia!”
“Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku
bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia.”
“Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya
kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan
menyesal karena membuang kesempatan ini.”
“Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri.”
“Ita, kau tidak mencintainya! “
“Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup.”
“Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat
mencintaimu? “
“Aku tidak pernah akan lupa, Pram.”
“Lantas apa yang membuatmu berubah piki ran
secepat ini?”
“Idan mengajariku tentang cinta.”
“Hanya karena itu?”
“Juga karena aku yakin, aku akan belajar
mencintainya.”
“Ita ….”
“Selamat tinggal,
Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia
lagi.” Telepon kututup sebelum air mataku luruh.
“Upit.” Aku
tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di
belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk
di lantai di sisi kursiku.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia
menyeka pipiku dengan jarinya.
“Aku tak bisa
melihatmu begini ,” lanjutnya pelan. “Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan
kesempatanmu berlalu sekali lagi?”
Aku mengangguk.
“Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit.”
Aku mengangguk.
“Kau akan menyesal.”
Aku mengangguk.
“Kau akan sedih, kecewa ….”
Aku mengangguk.
“Kau tidak mencintaiku. “
Aku menggeleng.
Idan terbelalak. “Upit!” pekiknya tertahan.
“Idan!”
TAMAT